Beautiful Mollucas

Beautiful Mollucas
Pintu Kota Beach

Juli 04, 2008

Ifa; Short Massage from Minggir Moslem (Part 1)





”Ya Allah, tetapkanlah hati anakku kepada jalanMu!”

Doa inilah yang sering aku panjatkan untuk anakku yang semakin tumbuh dewasa, agar mereka selalu terlindungi dari setiap godaan yang mungkin muncul di dalam hdup mereka.

Aku Choirul Arifah (49), saat ini tinggal di desa kecil di pinggir Kali Progo sebagai dokter gigi yang bertugas di Puskesmas. Menjadi dokter bukanlah cita-cita aku sejak kecil. Selepas SMA aku ingin melanjutkan kuliah di Fakultas Tehnik, tapi rupanya orang tua tidak memperbolehkan. Kakakku yang juga seorang dokter memintaku untuk melanjutkan kuliah di kedokteran gigi UGM. Aku pun meninggalkan Solo kota kelahiranku untuk menuntut ilmu di Yogya. Dan, dari sinilah babak baru dalam hidupku dimulai. Bukan saja menyelesaikan studi, di Yogya pula aku bertemu dengan pria yang telah menemani separuh hidupku. Suamiku adalah sosok pendiam dan penyabar, bersamanya aku membesarkan kedua anakku yang kini telah tumbuh dewasa. Bahkan Dewi anak pertamaku telah memberikan seorang cucu dimana keceriaan keluarga kami semakin bertambah. Di hampir setengah abad usiaku, hidup ini masih harus berjalan bekerja dan mengabdikan diri kepada masyarakat yang masih membutuhkan jasaku. Aku bahagia, walau harus berjuang melawan stroke ringan yang mendera tubuhku sejak lima tahu yang lalu dan membuat hidupku tergantung dengan obat.

Meski bukanlah asli penduduk desa Sendangagung, tapi bergaul dengan masyarakat sejak 25 tahun yang lalu membuatku merasa desa Sendagung adalah rumahku. Di desa kecil ini, warna warninya pemeluk agama sudah menjadi gambaran sehari-hari. Katholik, Islam Kristen atau agama lain semua membaur di desa kecilku ini. Tetapi itu semua tidak membuat hubungan masyarakat menjadi renggang. Adanya kapel, gereja dan juga masjid di desa menjadi saksi bagi kedamaian yang kami inginkan dan selalu menghindari pertikaian yang setiap saat bisa saja terjadi. Karena itu pula pasangan suami istri yang memiliki keyakinan berbeda bukan aku saja yang melakukannya. Hanya saja, mungkin tidak semua pasangan dapat bertahan menyelesaikan problem perbedaan seperti apa yang aku lakukan bersama Pak Joko (54th) suamiku. Banyak di antara pasangan-pasangan muda berpindah agama saat mereka menikah, bahkan ada pula yang harus mengakhiri kehidupan perkawinan karena tidak bisa menyelesaikan masalah perbedaan. Memang, bagi siapapun yang menikah dan memiliki perbedaan keyakinan, semuanya bergantung pada kita menjalaninya. Kalau suami istri mau menjaga toleransi dan menghargai keyakinan agama masing-masing, insyallah perbedaan itu tidak sulit untuk dijalani. Tapi, memang itu semua juga perlu dukungan keluarga dan lingkungan. Kalau keluarga, seperti yang aku alami, akan mendukung kesulitan akan mudah dihadapi.

Saat bertemu Pak Joko aku masih dudu di tahun ketiga bangku kuliah. Pak Joko tingal di belakang rumah kos tempat tinggalku, jadi baik pulang ataupun pergi pasti dia lewat rumah kosku. Pertama berkenalan Pak Joko yang juga lulusan Kedokteran Umum UGM sudah bekerja sebagai tenaga honorer di RS. Sardjito. Hanya saja saat itu aku sedang menjalin hubungan dengan Ihsan teman sekampus. Tapi rupanya Ihsan tidak serius dengan hubungan kami dan dia justru menduakanku dengan teman sekelas. Saat Pak Joko mulai dekat dan menunjukkan keseriusannya dia meminta restu dari orang tuanya. Dengan Pak Joko aku dapat melihat keseriusannya, sehingga mulai detik itu aku semakin giat berdoa dan meminta petunjuk-Nya untuk masa depan hubungan kami. Dua tahun membina hubungan, Pak Joko bertandang ke orang tua aku di Solo bermaksud untuk menyampaikan niat tulusnya meminangku. Ibuku agak keberatan dengan keyakinan agama Pak Prapto yang seorang Katholik itu. Tetapi entah mengapa ayah justru yakin aku bisa menjalani perkawinan kami kelak. Mungkin karena Bapakku yang memiliki pandangan lebih terbuka tahu betul bagaimana sifat dan kepribadianku. Sebagai anak seorang wirasawasta pengrajin batik aku memang terbiasa untuk membantu mereka berjualan, kebiasaanku itu telah membentuk kepribadianku menjadi orang yang tidak pernah mau tinggal diam dan mudah bergaul dengan siapapun. Mungkin karena itu pula Bapak memperbolehkanku menikah dengan Pak Joko. Saat itu bapak berpesan:

”Daripada kamu mendapat suami seorang muslim tetapi hanya Islam-islaman, lebih baik kamu menikah dengan bukan orang Islam tapi dia taat beragama”

Saat itu bapak menasehati Mas Joko jika ia ingin menikahi aku maka harus siap dengan gaya hidup aku yang sederhana, apa adanya dan tidak suka bermewah-mewahan. Pak Joko sendiri saat itu hanya mengiyakan perkataan bapakku. Ternyata kemauan Pak Joko juga didukung kedua orang tuanya, dan ketika melihat kami berduaan, orang tua Mas Joko bilang ”Kalau memang sudah cocok, ya sudah segera saja menikah!”. Aku lega, karena Tuhan telah menunjukkan kepadaku apa yang terbaik bagi kami. Meski ibu dan kakak perempuanku masih berat hati melepasku, tetapi karena ayah merestui kami, akhirnya perkawinan itu terlaksana juga.

Perkawinan kami membutuhkan cukup tenaga, terutama bagiku. Kami tidak akan menikah di KUA meski aku seorang muslimah, karena KUA tidak bisa menerima calon suamiku yang bukan muslim ini. Pak Joko mengusulkan kami menikah di gereja disitu aku masih dapat menjadi muslim dan tidak harus berpindah agama. Akhirnya aku menyetujui niat Pak Joko dan tidak berkeberatan untuk menikah secara gereja.

“Selama tidak mendapat komuni, bagi ku itu sah-sah saja. Toh, perkawinan ini juga sudah sah menurut negara, dan aku juga tidak harus menjadi Katholik karenanya..”

Aku menikah di gereja yang terletak di pusat kota Yogyakarta. Setelah menikah, kami memutuskan untuk bersepakat atas perbedaan kami. Pak Joko menginginkan anak-anak kami dididik dengan ajaran Katholik, sesuai dengan hukum Kanonik Katholik. Begitu pula kami yang tidak ingin perbedaan itu menjadi sumber percekcokan di dalam keluarga juga bersepakat untuk tidak membicarakan keimanan di rumah. Waktu itu aku berfikir, toh suamiku tidak memaksa untuk berpindah agama makanya aku tidak berkeberatan. Yang terpenting bagiku adalah menjalani apa yang sudah kami niatkan bersama; yakni menikah dan membina keluarga dengan baik ya aku harus menepati janjiku.

Juni 28, 2008

Before Sunset CRCS' 06































Several memorable pics @ CRCS

Juni 23, 2008

Menakar Alternatif Pemimpin dari Feminine Principle

Yang menyangka ada jalan pintas dalam iman, akan menemukan jalan buntu dalam sejarah”. Ungkapan Ge-eM* ini rasanya tepat mengawali kekahawatiran kita atas pentas kekerasan yang menjadi mekanisme instan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan di negeri ini. Bagaikan paduan suara, mekanisme instan kekerasan seringkali disuarakan baik oleh pemerintah terhadap masyarakat ataupun antar kelompok masyarakat sendiri. Sudah seharusnya kita bertanya pada pengalaman historis yang telah menyuguhi kita, kekerasan jangan pernah lagi menjadi solusi dalam menyelesaikan sebuah perbedaan, apalagi menjadi jalan untuk meneguhkan keberislaman.

Bukan sinetron TV, tapi awal Bulan Juni kita dipertontonkan adegan riil kekerasan fisik antara dua kelompok yang saling bertentangan. Di satu sisi ada kelompok Komando Lasykar Islam dimana Munarman berperan sebagai ’koordinator lapangan’ menentang keberadaan Ahmadiyah, sementara di sisi lain kelompok pro-demokrasi yang tergabung dalam AKKBB (Aliansi Kelompok untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) mencoba mengadvokasi hak sipil masyarakat Ahmadiyah. Kejadian 1 Juni mungkin lebih pantas disebut sebagai letusan ’bom molotof’ keberislaman masyarakat negeri ini yang semakin redup dari kata arif bijaksana. Bagaimana tidak? Kejadian Monas merepresentasikan dua titik ekstrim keberislaman masyarakat Islam Indonesia yang hadir di era global. Representasi kedua kelompok, dapat dipahami sebagai dampak dari semakin tingginya gelombang ketidakpastian (uncertainty wave). Alih-alih menghadirkan good guidance, keadaan serba tidak pasti yang diwakili dengan fenomena membanjirnya arus informasi dan tehnologi menyebabkan semakin tinggi pula rasa ketidakamanan yang menghinggapi kehidupan setiap manusia, termasuk umat Islam di Indonesia. Sadar atau tidak, mau tidak mau, keadaan ini memaksa umat Islam untuk memilah dan memilih. Mengidentifikasi kelompoknya, melakukan distansi dengan kelompok lain, dan diakhiri dengan peneguhan identitas diri melalui simbol-simbol. Sebuah symptom beragama di era digital!

Bagai jamur di musim hujan, dua titik ekstrim keberislaman di Indonesia ini ramai bermunculan sejak gong reformasi didengungkan tahun 1998. Sejak saat itu kita mulai dibiasakan dengan munculnya beraneka ragam macam Islam di Indonesia. Dari menggeloranya semangat kelompok-kelompok Shalafi, sebut saja HTI dengan adagium Khilafah Islamiyah, PKS yang mengukuhkan Islam sebagai simbol gerakan politik, sementara juga muncul gerakan progresif-liberal Islam seperti JIL, ICRP, ICCP dan lainnya, yang getol mengadvokasi hak-hak kaum minoritas di negeri ini. Dua model keberislaman ini sejak awal memang sudah bertentangan; kelompok progresif-liberal yang menerima globalisasi sebagai realitas yang harus diterima, kelompok Shalafi lebih menarik diri dari perayaan kemajuan manusia global, dengan berdiri dibelakang nama besar zaman kejayaan Islam sebagai prototype impiannya. Media, sebagai salah satu anak yang dilahirkan oleh era informasi, sebenranya turut memberi pupuk gesekan ideologi antara kedua belah kutub. Thus, perbedaan ideologi dan cara berislam yang dulu disuguhi oleh polemik wacana, akhirnya meledak menjadi kekerasan fisik tepat di tengah hari 1 Juni.

Terlepas dari polemik seputar keabsahan Ahmadiyah di dalam Islam, kita sepatutnya prihatin dengan sikap kekerasan yang sering dipertontonkan, baik secara fisik ataupun dengan cara-cara yang lebih simbolik. Lembaga survey The Pew Global Attitude Projects 2006 menyimpulkan pendapat 175 ribu responden di 54 negara, kekerasan sikap umat beragama telah menjadi pemicu rasa khawatir di berbagai negara. Bahkan di Negara mayoritas muslim sendiri rasa khawatir itu cukup tinggi, seperti di Pakistan (71%) atau Indonesia (67%). Lalu apa hubungan kekerasan dengan kepemimpinan kita? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mungkin kita bisa mengambil hikmah dari kekerasan yang pernah terjadi. Di antara kisah dari kekerasan di Ambon misalnya, rekonsiliasi nyata-nyata gagal didapati dari meja perundingan. Justru dari aktivitas pasar (dimana perempuan mendominasi tempat ini), disitulah rekonsiliasi atas perpecahan mulai ditanamkan. Dari situ kita bisa melihat peran aktif para perempuan sebagai pelaku rekonsiliasi. Lalu apa hubungan keberhasilan perempuan dalam rekonsiliasi dengan krisis kepemimpinan kita?

Menurut hemat saya, salah satu penyebab dari krisis kepemimpinan ini karena masih kentalnya pembakuan peran dan stereotipe gender di masyarakat kita. Bagaimana bisa? Istilah ini pembakuan pembagian peran gender merujuk pada pembagian kerja yang didasarkan pada jenis kelamin seksual, dan disertai stereotipe dominatif antara laki-laki dan perempuan. Pembakuan ini bersifat eksesif, menjadikan laki-laki sebagai sosok yang selalu tegas, kuat, mampu, dan rasional dalam menyelesaikan kekerasan. Sementara perempuan, sebaliknya, dianggap tidak dapat menyelesaikan kekerasan karena dirinya sendiri lemah, tidak tegas, dan irasional. Dalam pembakuan peran gender ini; pola pikir, nilai, kekuasaan, hingga fisik kita telah dikonstruksi oleh male power secara dominan, karenanya manusia tidak berlaku sebagaimana ia inginkan, tetapi sesuai dengan apa yang telah dikonstruksi kepadanya. Sehingga tidak saja laki-laki, di banyak hal perempuan juga beranggapan bahwa pembakuan peran yang dominatif ini adalah sebuah sistem nilai yang absah. Maka, ketika pemimpin perempuan bertindak salah, bukanlah perbuatan yang dipersalahkan justru keperempuanannya lah yang menjadi sumber kesalahan. Sementara ketika seorang pemimpin laki-laki tidak dapat melakukan fungsi kepemimpinan sebagaimana diidentikkan, maka ’kelaki-lakiannya’ perlu dipertanyakan. Dan bila kekerasan terjadi peran-peran perempuan yang biasanya diidentikkan dengan peran domestik diabaikan. Menyelesaikan kekerasan justru dilakukan dengan pendekatan yang formalistik, kaku dan terkadang menegasikan prinsip kemanusiaan.

Metode penyelesaian yang eksploitatif ini tentunya tidak tepat dengan himbauan QS. An-Nahl 125, ”Dan serukanlah kepada jalan Tuhanmu dengan cara hikmah, dan teladan yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik (ahsan)....”. Karenanya saya melihat, ayat ini harus diejawantahkan melalui potensi-potensi feminin manusia yang selama ini cenderung diabaikan. Terinspirasi dari ayat ini, saya rasa ada baiknya pula kita melihat penyelesaian kekerasan melalui kaca mata etika feminisme. Caroll Gilligan, seorang psikolog dari Stanford University mengetengahkan prinsip etis yang digali dari prinsip-prinsip feminin (feminine principle). Dengan mengkritisi stereotipe dominasi maskulinitas, Gilligan merumuskan prinsip etis ’saling-keterhubungan’ dan ’saling-kebertanggungjawaban’. Kedua prinsip etis ini, menurutnya, berbeda dengan prinsip etika dominan yang lebih menekankan pada undang-undang (rule) dan hak (right). Sementara pendekatan rule dan right menghasilkan sikap selalu menuntut keadilan (justice), melalui kedua prinsip Gilligan -yang ia gali dari spirit keibuan/motherhood- manusia dilatih untuk mengedepankan sikap peduli (care). Karena pada dasarnya kekerasan tidak muncul melainkan karena cara pandang kita yang melulu pada egosentrisme, padahal untuk menyelesaikan kekerasan kita harus membuka diri dengan kepedulian dan rasa saling tergantung.

Lalu siapa yang dapat mengaplikasikan prinsip feminitas ini? Mungkinkah laki-laki mampu melakukannya? Dengan prinsip feminitas, apakah tidak ada dominasi baru dari perempuan? pertanyaan ini mungkin saja muncul di benak kita. Tetapi, sedari awal selayaknya harus kita akui bahwa sebenarnya potensi feminitas pasti ada di setiap manusia, sebagaimana potensi maskulinitas juga sifat alamiah manusia. Karenanya kebutuhan mendesak kita saat ini adalah senantiasa melakukan kegiatan penyadaran (awareness rising) yang dimulai dari kesadaran akan pola pikir (mindset), bahwa kita bertanggung jawab dan peduli terhadap keberadaan mereka yang lemah dan dilemahkan, tanpa memperdulikan perbedaan jenis kelamin serta pembakuan gender yang terlanjur tersematkan dalam kehidupan masyarakat. Begitu pula dalam menanggapi keberbedaan dalam ekspresi beragama, selayaknya tidaklah mengorbankan sifat-sifat manusiawi seperti kepedulian dan rasa saling tergantung itu. Altruisme, semangat untuk mementingkan kepentingan bersama/orang lain, adalah kerakteristik pemimpin yang kita butuhkan saat ini. Dan bukan pemimpin yang melulu membela kebenaran menurut pandangan diri dan kelompoknya semata, tetapi pemimpin yang bertanggung jawab atas nama manusia. Jika demikian, maka kekuasaan sebagai media seorang pemimpin dalam perspektif feminitas ini adalah kekuasaan yang dilimpahi kasih sayang, tidak berpusat pada diri sendiri dan juga kelompok sendiri, melainkan pada orientasi kemaslahatan yang tanpa memandang warna bulu apalagi warna kulit. Dan bukankah sejak awal Allah telah memperingatkan prinsip kesetaraan dan keseimbangan ini, ”Dan orang laki-laki yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang baik (ma’ruf) mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana (QS. Al-Taubah [9]: 71).

Wallahu a’lam bishawab, wama taufiqi illa billah.....


S. Kusuma Dewi

(Pengurus HMI Cab. Yogya th. 2005-2006, mahasiswi CRCS-UGM)

* Gunawan Muhammad, dalam bukunya Tuhan dan Hal-hal yang Tidak Selesai.

Mei 26, 2008

The Ringing Cedars Series

Anastasia was born in the forest in 1969 to parents who died tragically when she was just a
baby. Living for the most part without clothes, food cultivation or man-made shelter, she has
survived on fruit, nuts, berries and mushrooms, brought to her by ?wild? animals with which
she lives in peaceful harmony.

Vladimir Megré initially spent three days with Anastasia during which she revealed to him such
astounding knowledge, power and wisdom that he abandoned his business, and at her request,
began writing this series. She told him she would encode the books with an energy that would
cause them to sell in the millions. Despite his lack of writing experience, this is exactly
what has happened. To date, over 10 million copies have sold in more than 20 languages - with
virtually no marketing other than word-of-mouth.

Anastasia offers fresh insights into dozens of topics - from natural child rearing and the
creation of healing gardens to sacred sexuality and social change; from ancient wisdom and
megalithic science to spirituality and the meaning of human life. However, it is Anastasia's ability to strike a chord in the heart of the reader that makes these books so very unusual. The purity and power of her words is provoking an outpouring of joy and hope in people from all walks of life.

Over 40,000 letters of gratitude were received by the author in just the first 3 years of
publication. Thousands of readers have been inspired to begin planting trees, growing gardens, creating beautiful works of art and rearranging their lifestyles to reflect a more spiritually
connected existence. Many are joining together to plan the creation of new community
neighborhoods where individuals own their own land - and take pride in creating a beautiful
natural paradise - a family estate - to be enjoyed by successive generations.

The Ringing Cedars Series has now been translated into over 20 languages. It has already sold over 10 million copies, with no advertising except word of mouth! - Yes! That's TEN MILLION!!

After reading Anastasia thousands of people have quit their jobs!

The Ringing Cedars Series contains some of the most important revelations to appear in thousands of years of human history - so significant, they are changing the course of our
destiny and rocking scientific and religious circles to the core.

"Your world - our world - is about to change. You need to be prepared"

These powerful, myth-shattering messages reveal profound wisdom grounded in ancient knowledge, expose suppressed secrets and hidden historical facts and offer a whole new paradigm for our planet's future.

Anastasia is a beautiful young woman, who was discovered by the author in 1995, living alone,
deep in the wild forests of Siberia. She is considered to be a surviving remnant of an ancient Vedic civilisation whose extraordinary powers and knowledge far exceed anything known today.

Anastasia will lift you up and hurl you into a future that is? well? everything you imagined
life could and should be! The twist is? it's here now!

Mei 05, 2008

Ini Pagi, Kata Kartini

Catatan Pinggir Goenawan Muhammad
Ini Pagi, Kata Kartini
It is morning, Senlin says, and in the morningShould I not pause in the light to remember God?
–Conrad Aiken.

Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, ia akan berangkat kerja,naik ojek dengan motor yang guncang, terpekur di sadel plastik yang gelap,mungkin mengingat ujung mimpi, mungkin mimpi.Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, ia akan turun di pengkol gang yang patah, sebuah lorong dengan nama seorang haji, dan akan menyusuri aspal kusam, dan akan membayangkan dirinya menyanyi, mungkin sebuah lagu Dewi Persik, mungkin sejumlah goyang, sejumlah angan-angan, mungkin fantasi.

Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, di tempat kerja itu, disebuah panti pijat, si asisten pemilik usaha akan berkata kepadanya: "Jangan lupa gembok." Dan ia akan mengambil di lokernya celana-dalam seragam yang hijau itu, dengan retsliting mengkilap, dengan gembok kecil yang merah."Jangan lupa gembok". Aku tak akan lupa, tak akan lupa. Gembok itumelindungi perempuan pemijat dari dosa, kata pegawai jawatan agama kabupaten; gembok adalah teknologi kealiman, peranti iman, pelindung harmoni keluarga, perisai kesehatan jasmani & rohani. "Tentu, tentu, tentu. Amin,amin, amin," kata Kartini, kata Kardinah, kata perempuan-perempuan pemijat, kata asisten pemilik usaha, dan tak seorang pun yang tak patuh.Ini pagi, kata Kartini, dan tiap pagi di tempat ini selalu dimulai dengan ingatan tentang dosa, kekotoran manusia, atau najis, Tuhan yang mengirimkan sifilis, insan yang menyembunyikan kemungkinan-kemungkinan jorok, syahwat yang hanya sedetik dirasakannya, dan fatwa yang menyuntikkan ke jantungnya segumpal rasa bersalah seperti dokter menyuntikkan serum kuda.

Siapa yang bersalah? Ini pagi, kata Kartini, jam-jam pertama ia mencari upah, tak mencari laki-laki. Ini pagi, kata Kartini, benarkah ia selamanya paham apa yang dikehendaki laki-laki? Suaminya yang cemburu tapi lapar dan malas mengantar si Ujang ke sekolah; pak cik yang tiap Jumat datang menagih utang karena ia sendiri hidup dari utang; satpam yang selalu sangat ramah kepada istri pemilik warteg di pinggir jalan, dan tukang ojek yang selalu berkata lewat kaca spion sepeda motornya, seperti mau mengejek, "Aku taksuka bau badan." Siapa yang bersalah? Laki-laki yang tak mau memakai gembok di celana-dalam, kata Kardinah: bupati yang selalu berpikir tentang seks; anggota dewan yang percaya ada gerakan pengedar syahwat di selatan khatulistiwa; komandan koramil yang punya senyum mesum; nyonya kepala jawatan agama yang kalang-kabut mengintip film "begituan" dan merasa betapa gemuruhnya godaan dan asyiknya kenikmatan, astaghfirullah, astaghfirullah."Jangan lupa gembok". Laki-laki adalah otak, kata ketua Majelis Ulama setempat, perempuan adalah badan. Laki-laki matahari, perempuan bumi, katanya lagi. Yang di dekat langit dekat pula dengan sumber terang dan wahyu, yang dekat bumi mudah tersenggol lendir dan gonorea. Surya melahirkan tenaga, bumi melahirkan bahan. Memang dari sini datang bau harum, tapi juga racun. Jangan lupa gembok. Jangan lupa penutup rambut di kepala. Jangan lupa penutup lengan dan tungkai kaki. Wahai, jangan lupa dari mana datangnya dosa: dari mata turun ke vagina. Jangan lupa gembok, jangan lupa kunci. O,ya. Jangan lupa celana-dalam.

Ini pagi, kata Kartini. Pagi adalah menunggu tamu. Pagi adalah dag-dig-dug. Pagi adalah suara tokek di dinding yang ditebak seperti ramalan feng-sui:rezeki - rugi - rezeki - rugi - rezeki - tidak.… Dan Kardinah, dan Rukmini,dan Badriyah, dan Sri Urip, dan Zakiyah, dan seluruh tim pemijat itu, mereka tahu bahwa di antara mereka cemas adalah sesuatu yang sah dan terduga: para tamu tak akan gampang dan tenang datang ke sini, sebab para tamu adalahorang yang terhormat, dan orang yang terhormat tak mau dituduh mendekati sesuatu yang harus diproteksi dengan sepotong logam berwarna merah.Ini pagi, kata Kartini. Ini pagi, Stella—ataupun siapa nun di luar sana. Diruang ini hari dimulai dengan kewaspadaan. Atau kecurigaan. Atau penghinaan.Dan kaum yang lapar, kaum yang terhina, berderet termangu, duduk, bersalah sebelum diupah.Ini pagi, kata Kartini, aku turun dari gelap dan dengan angin yang menghuni, aku berangkat, entah ke mana.Sepucuk kunci di kantungku, arlojiku kuputar siap. Langit menyuram, aku turun tangga. Ada bayang-bayang di jendela, melintas, juga sepotong awan di atas, dan sesosok tuhan di antara bintang—aku akanpergi...
http://www.irshadma nji.com/im- beyond-mecca

Akhir bulan lalu saya dapet 'angin surga' pencerahan dari seorang novelist Perempuan keturunan Uganda lama di Kanada dan kini menetap di negeri Paman Sam, Amerika. Siapa dia? IRSHAD MANJI, (perempuan, lho!) Selama kurang lebih 4 hari di Yogyakarta, Irsyad berkesempatan untuk bersentuhan dengan kita, warga Yogya terutama para muslim. termasuk di antaranya, Irsyad juga ikut mampir ke kampus saya, di CRCS UGM. Kenapa dia inspiring???

First, saya akan merekomen teman2 untuk melupakan terlebih dahulu fakta bahwa dia adalah seorang homo-lesbi moslem. dan lebih menekankan untuk mendengar apa yang ia katakan. salah satu peserta diskusi yang berasal dari organ Islam bilang "suara anda itu bukan hal asing, karena saya sudah sering mendengarnya" . Yup, Irshad memang sangat progresif dan sekaligus provokatif untuk menyuarakan kepada seluruh umat Islam, agar kita selalu menekankan sikap IJTIHADI di setiap lini kehidupan kita, umat Islam.Ijtihad bagi Irshad adalah 'great weapon' bagi umat Islam untuk mengatasi kejumudan pemikiran yang selama ini selalu direproduksi kembali oleh umat Islam. Lebih khusus lagi kejumudan dalam meligitimasi setiap hukum dan aturan yang didapatkan dari para pemikir2 moslem sejak abad 8. So, it is a change that we need!!! begitu dia mengandaikan.

Kedua, yang membuat aku semakin kagum padanya adalah, bahwa Irshad memiliki hrapan dan optimisme yang besar terhadap umat Islam Indonesia yang sangat majemuk ini. baginya, "the most compelling idea is come from the peripheral, is not come from the center". pandangan ini muncul disebabkan dua alasan penting, pertama, secara kuantitas saja, umat Islam di Indonesia telah mengimbangi jumlah umat muslim di Timur Tengah. kedua, umat Islam di Indonesia memiliki peran yang signifikan dalam menghadirkan keislaman yang bukan 'middle-eastern mindedness', karena Islam di indonesia sangat ramah dan menghargai kemajemukan itu sendiri. Ketiga, konsep IJTIHADI Manji menekankan indepensi setiap muslim untuk dapat berfikir dan mengentaskan dirinya dari kejumudan pemikiran dan pemaknaan AL-Qur'an, dan menganjurkan kita untuk meningkatkan kemampuan refleksif kritis terhadap realitas sosial yang mendera kita. hm, ide ini kalau diperbincangkan mungkin saja memicu perdebatan klise. Tapi bagiku, Manji sudah selangkah lebih maju dari pada pemikiran kita yang bersikukuh dengan islam yang telah established, mapan ini. Karena sebenarnya, tantangan kita adalah membaca kandungan Al-Qur'an -beserta perangkat ilmu alatnya- yang lebih sensitif dengan persoalan kita saat ini.

Pendek kata, Manji membantu kita, umat Islam Indonesia, dengan memberi kita busur dan anak panahnya. Pertanyaan kita selanjutnya, mengapa tidak kita pergunakan busur dan panah itu untuk memecah Islam kita yang semakin membola kristal dalam kebekuan???

Wallahu'alam bishawab

Silahkan check kunjungan Manji ke Pesantren Gedung Putih di Krapyak, dan baca komentar dia....

Thank You!!!Ibda' bi nafsik!!!