Beautiful Mollucas

Beautiful Mollucas
Pintu Kota Beach

Juli 04, 2008

Ifa; Short Massage from Minggir Moslem (Part 1)





”Ya Allah, tetapkanlah hati anakku kepada jalanMu!”

Doa inilah yang sering aku panjatkan untuk anakku yang semakin tumbuh dewasa, agar mereka selalu terlindungi dari setiap godaan yang mungkin muncul di dalam hdup mereka.

Aku Choirul Arifah (49), saat ini tinggal di desa kecil di pinggir Kali Progo sebagai dokter gigi yang bertugas di Puskesmas. Menjadi dokter bukanlah cita-cita aku sejak kecil. Selepas SMA aku ingin melanjutkan kuliah di Fakultas Tehnik, tapi rupanya orang tua tidak memperbolehkan. Kakakku yang juga seorang dokter memintaku untuk melanjutkan kuliah di kedokteran gigi UGM. Aku pun meninggalkan Solo kota kelahiranku untuk menuntut ilmu di Yogya. Dan, dari sinilah babak baru dalam hidupku dimulai. Bukan saja menyelesaikan studi, di Yogya pula aku bertemu dengan pria yang telah menemani separuh hidupku. Suamiku adalah sosok pendiam dan penyabar, bersamanya aku membesarkan kedua anakku yang kini telah tumbuh dewasa. Bahkan Dewi anak pertamaku telah memberikan seorang cucu dimana keceriaan keluarga kami semakin bertambah. Di hampir setengah abad usiaku, hidup ini masih harus berjalan bekerja dan mengabdikan diri kepada masyarakat yang masih membutuhkan jasaku. Aku bahagia, walau harus berjuang melawan stroke ringan yang mendera tubuhku sejak lima tahu yang lalu dan membuat hidupku tergantung dengan obat.

Meski bukanlah asli penduduk desa Sendangagung, tapi bergaul dengan masyarakat sejak 25 tahun yang lalu membuatku merasa desa Sendagung adalah rumahku. Di desa kecil ini, warna warninya pemeluk agama sudah menjadi gambaran sehari-hari. Katholik, Islam Kristen atau agama lain semua membaur di desa kecilku ini. Tetapi itu semua tidak membuat hubungan masyarakat menjadi renggang. Adanya kapel, gereja dan juga masjid di desa menjadi saksi bagi kedamaian yang kami inginkan dan selalu menghindari pertikaian yang setiap saat bisa saja terjadi. Karena itu pula pasangan suami istri yang memiliki keyakinan berbeda bukan aku saja yang melakukannya. Hanya saja, mungkin tidak semua pasangan dapat bertahan menyelesaikan problem perbedaan seperti apa yang aku lakukan bersama Pak Joko (54th) suamiku. Banyak di antara pasangan-pasangan muda berpindah agama saat mereka menikah, bahkan ada pula yang harus mengakhiri kehidupan perkawinan karena tidak bisa menyelesaikan masalah perbedaan. Memang, bagi siapapun yang menikah dan memiliki perbedaan keyakinan, semuanya bergantung pada kita menjalaninya. Kalau suami istri mau menjaga toleransi dan menghargai keyakinan agama masing-masing, insyallah perbedaan itu tidak sulit untuk dijalani. Tapi, memang itu semua juga perlu dukungan keluarga dan lingkungan. Kalau keluarga, seperti yang aku alami, akan mendukung kesulitan akan mudah dihadapi.

Saat bertemu Pak Joko aku masih dudu di tahun ketiga bangku kuliah. Pak Joko tingal di belakang rumah kos tempat tinggalku, jadi baik pulang ataupun pergi pasti dia lewat rumah kosku. Pertama berkenalan Pak Joko yang juga lulusan Kedokteran Umum UGM sudah bekerja sebagai tenaga honorer di RS. Sardjito. Hanya saja saat itu aku sedang menjalin hubungan dengan Ihsan teman sekampus. Tapi rupanya Ihsan tidak serius dengan hubungan kami dan dia justru menduakanku dengan teman sekelas. Saat Pak Joko mulai dekat dan menunjukkan keseriusannya dia meminta restu dari orang tuanya. Dengan Pak Joko aku dapat melihat keseriusannya, sehingga mulai detik itu aku semakin giat berdoa dan meminta petunjuk-Nya untuk masa depan hubungan kami. Dua tahun membina hubungan, Pak Joko bertandang ke orang tua aku di Solo bermaksud untuk menyampaikan niat tulusnya meminangku. Ibuku agak keberatan dengan keyakinan agama Pak Prapto yang seorang Katholik itu. Tetapi entah mengapa ayah justru yakin aku bisa menjalani perkawinan kami kelak. Mungkin karena Bapakku yang memiliki pandangan lebih terbuka tahu betul bagaimana sifat dan kepribadianku. Sebagai anak seorang wirasawasta pengrajin batik aku memang terbiasa untuk membantu mereka berjualan, kebiasaanku itu telah membentuk kepribadianku menjadi orang yang tidak pernah mau tinggal diam dan mudah bergaul dengan siapapun. Mungkin karena itu pula Bapak memperbolehkanku menikah dengan Pak Joko. Saat itu bapak berpesan:

”Daripada kamu mendapat suami seorang muslim tetapi hanya Islam-islaman, lebih baik kamu menikah dengan bukan orang Islam tapi dia taat beragama”

Saat itu bapak menasehati Mas Joko jika ia ingin menikahi aku maka harus siap dengan gaya hidup aku yang sederhana, apa adanya dan tidak suka bermewah-mewahan. Pak Joko sendiri saat itu hanya mengiyakan perkataan bapakku. Ternyata kemauan Pak Joko juga didukung kedua orang tuanya, dan ketika melihat kami berduaan, orang tua Mas Joko bilang ”Kalau memang sudah cocok, ya sudah segera saja menikah!”. Aku lega, karena Tuhan telah menunjukkan kepadaku apa yang terbaik bagi kami. Meski ibu dan kakak perempuanku masih berat hati melepasku, tetapi karena ayah merestui kami, akhirnya perkawinan itu terlaksana juga.

Perkawinan kami membutuhkan cukup tenaga, terutama bagiku. Kami tidak akan menikah di KUA meski aku seorang muslimah, karena KUA tidak bisa menerima calon suamiku yang bukan muslim ini. Pak Joko mengusulkan kami menikah di gereja disitu aku masih dapat menjadi muslim dan tidak harus berpindah agama. Akhirnya aku menyetujui niat Pak Joko dan tidak berkeberatan untuk menikah secara gereja.

“Selama tidak mendapat komuni, bagi ku itu sah-sah saja. Toh, perkawinan ini juga sudah sah menurut negara, dan aku juga tidak harus menjadi Katholik karenanya..”

Aku menikah di gereja yang terletak di pusat kota Yogyakarta. Setelah menikah, kami memutuskan untuk bersepakat atas perbedaan kami. Pak Joko menginginkan anak-anak kami dididik dengan ajaran Katholik, sesuai dengan hukum Kanonik Katholik. Begitu pula kami yang tidak ingin perbedaan itu menjadi sumber percekcokan di dalam keluarga juga bersepakat untuk tidak membicarakan keimanan di rumah. Waktu itu aku berfikir, toh suamiku tidak memaksa untuk berpindah agama makanya aku tidak berkeberatan. Yang terpenting bagiku adalah menjalani apa yang sudah kami niatkan bersama; yakni menikah dan membina keluarga dengan baik ya aku harus menepati janjiku.

Juni 28, 2008

Before Sunset CRCS' 06































Several memorable pics @ CRCS