Beautiful Mollucas

Beautiful Mollucas
Pintu Kota Beach

Juni 28, 2008

Before Sunset CRCS' 06































Several memorable pics @ CRCS

Juni 23, 2008

Menakar Alternatif Pemimpin dari Feminine Principle

Yang menyangka ada jalan pintas dalam iman, akan menemukan jalan buntu dalam sejarah”. Ungkapan Ge-eM* ini rasanya tepat mengawali kekahawatiran kita atas pentas kekerasan yang menjadi mekanisme instan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan di negeri ini. Bagaikan paduan suara, mekanisme instan kekerasan seringkali disuarakan baik oleh pemerintah terhadap masyarakat ataupun antar kelompok masyarakat sendiri. Sudah seharusnya kita bertanya pada pengalaman historis yang telah menyuguhi kita, kekerasan jangan pernah lagi menjadi solusi dalam menyelesaikan sebuah perbedaan, apalagi menjadi jalan untuk meneguhkan keberislaman.

Bukan sinetron TV, tapi awal Bulan Juni kita dipertontonkan adegan riil kekerasan fisik antara dua kelompok yang saling bertentangan. Di satu sisi ada kelompok Komando Lasykar Islam dimana Munarman berperan sebagai ’koordinator lapangan’ menentang keberadaan Ahmadiyah, sementara di sisi lain kelompok pro-demokrasi yang tergabung dalam AKKBB (Aliansi Kelompok untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) mencoba mengadvokasi hak sipil masyarakat Ahmadiyah. Kejadian 1 Juni mungkin lebih pantas disebut sebagai letusan ’bom molotof’ keberislaman masyarakat negeri ini yang semakin redup dari kata arif bijaksana. Bagaimana tidak? Kejadian Monas merepresentasikan dua titik ekstrim keberislaman masyarakat Islam Indonesia yang hadir di era global. Representasi kedua kelompok, dapat dipahami sebagai dampak dari semakin tingginya gelombang ketidakpastian (uncertainty wave). Alih-alih menghadirkan good guidance, keadaan serba tidak pasti yang diwakili dengan fenomena membanjirnya arus informasi dan tehnologi menyebabkan semakin tinggi pula rasa ketidakamanan yang menghinggapi kehidupan setiap manusia, termasuk umat Islam di Indonesia. Sadar atau tidak, mau tidak mau, keadaan ini memaksa umat Islam untuk memilah dan memilih. Mengidentifikasi kelompoknya, melakukan distansi dengan kelompok lain, dan diakhiri dengan peneguhan identitas diri melalui simbol-simbol. Sebuah symptom beragama di era digital!

Bagai jamur di musim hujan, dua titik ekstrim keberislaman di Indonesia ini ramai bermunculan sejak gong reformasi didengungkan tahun 1998. Sejak saat itu kita mulai dibiasakan dengan munculnya beraneka ragam macam Islam di Indonesia. Dari menggeloranya semangat kelompok-kelompok Shalafi, sebut saja HTI dengan adagium Khilafah Islamiyah, PKS yang mengukuhkan Islam sebagai simbol gerakan politik, sementara juga muncul gerakan progresif-liberal Islam seperti JIL, ICRP, ICCP dan lainnya, yang getol mengadvokasi hak-hak kaum minoritas di negeri ini. Dua model keberislaman ini sejak awal memang sudah bertentangan; kelompok progresif-liberal yang menerima globalisasi sebagai realitas yang harus diterima, kelompok Shalafi lebih menarik diri dari perayaan kemajuan manusia global, dengan berdiri dibelakang nama besar zaman kejayaan Islam sebagai prototype impiannya. Media, sebagai salah satu anak yang dilahirkan oleh era informasi, sebenranya turut memberi pupuk gesekan ideologi antara kedua belah kutub. Thus, perbedaan ideologi dan cara berislam yang dulu disuguhi oleh polemik wacana, akhirnya meledak menjadi kekerasan fisik tepat di tengah hari 1 Juni.

Terlepas dari polemik seputar keabsahan Ahmadiyah di dalam Islam, kita sepatutnya prihatin dengan sikap kekerasan yang sering dipertontonkan, baik secara fisik ataupun dengan cara-cara yang lebih simbolik. Lembaga survey The Pew Global Attitude Projects 2006 menyimpulkan pendapat 175 ribu responden di 54 negara, kekerasan sikap umat beragama telah menjadi pemicu rasa khawatir di berbagai negara. Bahkan di Negara mayoritas muslim sendiri rasa khawatir itu cukup tinggi, seperti di Pakistan (71%) atau Indonesia (67%). Lalu apa hubungan kekerasan dengan kepemimpinan kita? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mungkin kita bisa mengambil hikmah dari kekerasan yang pernah terjadi. Di antara kisah dari kekerasan di Ambon misalnya, rekonsiliasi nyata-nyata gagal didapati dari meja perundingan. Justru dari aktivitas pasar (dimana perempuan mendominasi tempat ini), disitulah rekonsiliasi atas perpecahan mulai ditanamkan. Dari situ kita bisa melihat peran aktif para perempuan sebagai pelaku rekonsiliasi. Lalu apa hubungan keberhasilan perempuan dalam rekonsiliasi dengan krisis kepemimpinan kita?

Menurut hemat saya, salah satu penyebab dari krisis kepemimpinan ini karena masih kentalnya pembakuan peran dan stereotipe gender di masyarakat kita. Bagaimana bisa? Istilah ini pembakuan pembagian peran gender merujuk pada pembagian kerja yang didasarkan pada jenis kelamin seksual, dan disertai stereotipe dominatif antara laki-laki dan perempuan. Pembakuan ini bersifat eksesif, menjadikan laki-laki sebagai sosok yang selalu tegas, kuat, mampu, dan rasional dalam menyelesaikan kekerasan. Sementara perempuan, sebaliknya, dianggap tidak dapat menyelesaikan kekerasan karena dirinya sendiri lemah, tidak tegas, dan irasional. Dalam pembakuan peran gender ini; pola pikir, nilai, kekuasaan, hingga fisik kita telah dikonstruksi oleh male power secara dominan, karenanya manusia tidak berlaku sebagaimana ia inginkan, tetapi sesuai dengan apa yang telah dikonstruksi kepadanya. Sehingga tidak saja laki-laki, di banyak hal perempuan juga beranggapan bahwa pembakuan peran yang dominatif ini adalah sebuah sistem nilai yang absah. Maka, ketika pemimpin perempuan bertindak salah, bukanlah perbuatan yang dipersalahkan justru keperempuanannya lah yang menjadi sumber kesalahan. Sementara ketika seorang pemimpin laki-laki tidak dapat melakukan fungsi kepemimpinan sebagaimana diidentikkan, maka ’kelaki-lakiannya’ perlu dipertanyakan. Dan bila kekerasan terjadi peran-peran perempuan yang biasanya diidentikkan dengan peran domestik diabaikan. Menyelesaikan kekerasan justru dilakukan dengan pendekatan yang formalistik, kaku dan terkadang menegasikan prinsip kemanusiaan.

Metode penyelesaian yang eksploitatif ini tentunya tidak tepat dengan himbauan QS. An-Nahl 125, ”Dan serukanlah kepada jalan Tuhanmu dengan cara hikmah, dan teladan yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik (ahsan)....”. Karenanya saya melihat, ayat ini harus diejawantahkan melalui potensi-potensi feminin manusia yang selama ini cenderung diabaikan. Terinspirasi dari ayat ini, saya rasa ada baiknya pula kita melihat penyelesaian kekerasan melalui kaca mata etika feminisme. Caroll Gilligan, seorang psikolog dari Stanford University mengetengahkan prinsip etis yang digali dari prinsip-prinsip feminin (feminine principle). Dengan mengkritisi stereotipe dominasi maskulinitas, Gilligan merumuskan prinsip etis ’saling-keterhubungan’ dan ’saling-kebertanggungjawaban’. Kedua prinsip etis ini, menurutnya, berbeda dengan prinsip etika dominan yang lebih menekankan pada undang-undang (rule) dan hak (right). Sementara pendekatan rule dan right menghasilkan sikap selalu menuntut keadilan (justice), melalui kedua prinsip Gilligan -yang ia gali dari spirit keibuan/motherhood- manusia dilatih untuk mengedepankan sikap peduli (care). Karena pada dasarnya kekerasan tidak muncul melainkan karena cara pandang kita yang melulu pada egosentrisme, padahal untuk menyelesaikan kekerasan kita harus membuka diri dengan kepedulian dan rasa saling tergantung.

Lalu siapa yang dapat mengaplikasikan prinsip feminitas ini? Mungkinkah laki-laki mampu melakukannya? Dengan prinsip feminitas, apakah tidak ada dominasi baru dari perempuan? pertanyaan ini mungkin saja muncul di benak kita. Tetapi, sedari awal selayaknya harus kita akui bahwa sebenarnya potensi feminitas pasti ada di setiap manusia, sebagaimana potensi maskulinitas juga sifat alamiah manusia. Karenanya kebutuhan mendesak kita saat ini adalah senantiasa melakukan kegiatan penyadaran (awareness rising) yang dimulai dari kesadaran akan pola pikir (mindset), bahwa kita bertanggung jawab dan peduli terhadap keberadaan mereka yang lemah dan dilemahkan, tanpa memperdulikan perbedaan jenis kelamin serta pembakuan gender yang terlanjur tersematkan dalam kehidupan masyarakat. Begitu pula dalam menanggapi keberbedaan dalam ekspresi beragama, selayaknya tidaklah mengorbankan sifat-sifat manusiawi seperti kepedulian dan rasa saling tergantung itu. Altruisme, semangat untuk mementingkan kepentingan bersama/orang lain, adalah kerakteristik pemimpin yang kita butuhkan saat ini. Dan bukan pemimpin yang melulu membela kebenaran menurut pandangan diri dan kelompoknya semata, tetapi pemimpin yang bertanggung jawab atas nama manusia. Jika demikian, maka kekuasaan sebagai media seorang pemimpin dalam perspektif feminitas ini adalah kekuasaan yang dilimpahi kasih sayang, tidak berpusat pada diri sendiri dan juga kelompok sendiri, melainkan pada orientasi kemaslahatan yang tanpa memandang warna bulu apalagi warna kulit. Dan bukankah sejak awal Allah telah memperingatkan prinsip kesetaraan dan keseimbangan ini, ”Dan orang laki-laki yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang baik (ma’ruf) mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana (QS. Al-Taubah [9]: 71).

Wallahu a’lam bishawab, wama taufiqi illa billah.....


S. Kusuma Dewi

(Pengurus HMI Cab. Yogya th. 2005-2006, mahasiswi CRCS-UGM)

* Gunawan Muhammad, dalam bukunya Tuhan dan Hal-hal yang Tidak Selesai.